TIMES PONOROGO, PONOROGO – Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dan sistem bernegara. Keluarga juga memiliki kontribusi besar dalam membentuk dan memandu arah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahkan, Islam secara tegas menempatkan keluarga sebagai pilar utama peradaban, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an (QS. Ar-Rum: 21) tentang tujuan pernikahan, yaitu: menghadirkan sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Dari keluarga yang sakinah lahir individu yang sehat secara spiritual, emosional, dan sosial. Sebaliknya, keretakan keluarga dapat menjelma menjadi keretakan sosial bahkan melemahkan bangunan negara.
Karena itu, membangun keluarga sakinah bukan semata urusan privat, melainkan investasi besar bagi terwujudnya negara yang maslahah yakni negara yang menghadirkan keadilan, kemakmuran, dan kemanfaatan bagi rakyatnya.
Para ulama fikih klasik menekankan pentingnya fiqh al-usrah (fikih keluarga) sebagai panduan membangun kehidupan rumah tangga. Prinsip hifz al-nasl (menjaga keturunan), hifz al-‘irdh (menjaga kehormatan), serta prinsip keadilan dan tanggung jawab antara suami-istri merupakan fondasi dari keluarga sakinah.
Dalam konteks modern, nilai-nilai ini sangat relevan. Lonjakan perceraian, meningkatnya kasus pernikahan anak, serta disrupsi pengasuhan akibat arus digital membuktikan bahwa keluarga menghadapi tantangan serius.
Ketahanan keluarga bukan hanya menyangkut relasi internal antara suami, istri, dan anak, tetapi juga relasi eksternal dengan masyarakat dan negara. Keluarga yang sehat akan menghasilkan warga negara yang sehat.
Pembangunan keluarga tidak boleh dipandang sebagai isu domestik semata, melainkan isu strategis yang menentukan kualitas bangsa. Hadirnya keluarga yang resilien maka menjadi fondasi negara maslahah yang kokoh.
Negara maslahah adalah negara yang berorientasi pada kemanfaatan publik. Konsep ini selaras dengan maqashid al-syari‘ah yang menekankan perlindungan agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Menariknya, seluruh maqashid tersebut sangat erat kaitannya dengan peran keluarga.
Keluarga sakinah mendidik anak dengan nilai keimanan, menjaga jiwa dengan kasih sayang, menumbuhkan akal melalui pendidikan, melindungi keturunan dengan pengasuhan yang baik, serta mengajarkan tanggung jawab dalam mengelola harta.
Dengan kata lain, keluarga sakinah adalah miniatur negara maslahah. Jika keluarga rapuh, negara akan mudah goyah. Sebaliknya, jika keluarga kokoh, negara berpotensi menjadi ruang kemaslahatan bersama.
Di era globalisasi dan digitalisasi, keluarga menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Media sosial, misalnya, bisa menjadi sarana edukasi, tetapi juga dapat merusak relasi keluarga jika disalahgunakan.
Banyak kasus perceraian dipicu perselingkuhan virtual atau kecanduan gawai. Anak-anak pun lebih akrab dengan gadget ketimbang dialog dengan orang tua.
Sementara itu, negara juga menghadapi tantangan besar dalam menjaga kemaslahatan. Kesenjangan sosial, krisis moral, dan korupsi masih menjadi problem klasik. Tanpa ketahanan keluarga, negara sulit melahirkan generasi yang berintegritas. Di titik inilah pentingnya menghubungkan pembangunan keluarga dengan pembangunan negara.
Pesantren dan lembaga pendidikan Islam memiliki peran penting dalam membangun keluarga sakinah sekaligus negara maslahah. Pesantren bukan hanya mencetak santri yang pandai mengaji, tetapi juga mendidik mereka menjadi calon suami-istri yang siap membina keluarga.
Kitab kuning seperti Uqud al-Lujjain atau al-Tahrir fi Usul al-Fiqh bisa diperkaya dengan kurikulum kontemporer tentang psikologi keluarga, literasi digital, dan manajemen ekonomi rumah tangga.
Selain itu, pesantren juga dapat melahirkan kader ulama dan intelektual yang mampu mengintegrasikan fikih keluarga dengan kebijakan publik. Misalnya, pemikiran fiqh al-usrah bisa dijadikan dasar untuk merumuskan undang-undang perlindungan anak, kebijakan pencegahan perkawinan anak, atau regulasi tentang hak asuh. Dengan demikian, pesantren ikut memastikan bahwa hukum positif di Indonesia selaras dengan prinsip kemaslahatan syariah.
Mewujudkan negara maslahah tidak cukup hanya dengan retorika, tetapi perlu kebijakan konkret. Pertama, negara harus memastikan akses pendidikan keluarga yang memadai. Pendidikan pranikah, bimbingan keluarga, dan konseling perlu diperkuat, bukan sekadar formalitas.
Kedua, negara perlu memperkuat perlindungan sosial bagi keluarga miskin agar tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang melemahkan ketahanan keluarga. Ketiga, negara wajib mengontrol arus digital agar tidak merusak moralitas generasi muda.
Negara maslahah bukan berarti negara yang hanya mengutip ayat dan hadis dalam kebijakannya, tetapi negara yang menghadirkan nilai Islam sebagai spirit etika publik.
Dalam hal ini, peran keluarga sebagai “sekolah pertama” menjadi penentu. Jika keluarga berhasil menanamkan nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab, maka pejabat publik, birokrat, hingga pemimpin lahir dari kultur yang sehat.
Hubungan antara keluarga sakinah dan negara maslahah bersifat timbal balik. Keluarga yang kokoh akan melahirkan warga negara yang bermartabat. Negara yang adil akan memberikan ruang tumbuh bagi keluarga. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Karena itu, membangun bangsa tidak bisa hanya dimulai dari atas, melainkan juga dari bawah. Program pembangunan nasional perlu menyentuh aspek keluarga secara langsung.
Sebaliknya, keluarga perlu menanamkan kesadaran bernegara sejak dini kepada anak-anaknya. Dengan begitu, tercipta sinergi: keluarga mendidik warga negara yang baik, dan negara melindungi keluarga agar tetap sakinah.
Mari hadirkan para penggerak keluarga sakinah sejak dini. Bekali generasi muda untuk membangun fondasi keluarga yang kokoh menuju negara maslahah. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keluarga yang kokoh akan melahirkan masyarakat yang sehat, dan masyarakat yang sehat akan menopang negara yang adil serta berorientasi pada kemaslahatan.
Di tengah tantangan era digital dan globalisasi, baik keluarga maupun negara perlu beradaptasi tanpa kehilangan nilai dasar. Islam sudah memberi fondasi jelas: sakinah di ranah keluarga dan maslahah di ranah negara. Kini tugas kita bersama adalah menjembatani keduanya.
Jika keluarga adalah madrasah pertama, maka negara adalah rumah besar yang harus menghadirkan keadilan dan kemakmuran. Saat keluarga sakinah bersenyawa dengan negara maslahah, di situlah peradaban rahmatan lil ‘alamin benar-benar menemukan wajahnya.
***
*) Oleh : Lukman Santoso Az, Bergiat di Pusat Studi Agama dan Negara Fakultas Syariah UIN Ponorogo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |