https://ponorogo.times.co.id/
Opini

Manusia yang Terlalu Terlihat

Rabu, 08 Oktober 2025 - 15:39
Manusia yang Terlalu Terlihat Ahmad Faruk, Alumni Pondok Tremas, Dosen Filsafat Islam FUAD UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo.

TIMES PONOROGO, PONOROGO – Beberapa hari terakhir, jagat digital kita diramaikan oleh drama sosial antara Yai Mim mantan dosen agama di UIN Malang dan Sahara, tetangganya yang berprofesi sebagai pelaku usaha rental mobil. 

Potongan video perdebatan keduanya menyebar di media sosial, diunggah ulang, diparodikan, bahkan dijadikan konten hiburan. Yang awalnya sekadar persoalan antar-tetangga berubah menjadi ajang perbincangan nasional: siapa yang benar, siapa yang lebih sopan, siapa yang lebih “bermoral”.

Di balik gegap-gempita reaksi publik itu, ada sesuatu yang lebih dalam untuk direnungkan: kita sedang menyaksikan krisis keberadaan manusia modern, krisis tentang bagaimana manusia ingin dilihat, bukan ingin menjadi.

Sejak lama filsafat memaknai manusia sebagai animal rationale makhluk berakal. Dalam tradisi Islam, manusia disebut hayawan natiq, makhluk yang berpikir dan berbudi. Tapi di zaman ini, tampaknya kita telah bertransformasi menjadi makhluk yang terekspos. Keberadaan seseorang diukur bukan dari pikirannya, melainkan dari tampilannya di layar.

Media sosial menciptakan logika baru tentang “ada”: kita eksis sejauh kita dilihat, disukai, dibagikan. Filsafat menyebut ini sebagai ontologi visibilitas bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh tatapan publik. Kita bukan lagi homo sapiens, tapi homo visualis: manusia yang hidup dari sorotan kamera, bukan dari kedalaman batin.

Ketika Emosi Menggantikan Akal

Dalam pandangan Islam klasik, keseimbangan manusia dijaga oleh dua poros: akal dan qalb (hati). Akal menimbang, hati merasakan. Tapi di ruang digital, keseimbangan itu porak-poranda. Yang berkuasa kini bukan nalar, melainkan afeksi ledakan rasa, emosi, dan reaksi spontan yang menjadi bahan bakar algoritma.

Dalam video yang viral, publik menilai bukan dari isi percakapan, melainkan dari nada suara, gestur tubuh, dan intensitas emosi. Moralitas pun bergeser: yang tampak marah dianggap salah, yang tampak tenang dianggap benar. 

Padahal, sebagaimana diingatkan para sufi, ketika nafs (ego) tidak diterangi oleh akal dan iman, ia berubah menjadi nafs ammarah dorongan reaktif yang menutupi cahaya nurani. Ibn ‘Arabi pernah menulis, “Manusia menjadi buta terhadap hakikat dirinya karena terlalu sibuk melihat bayangannya sendiri.”

Antropologi metafisik berbicara tentang relasionalitas: manusia hanya menemukan dirinya melalui hubungan dengan sesama dan dunia. Tetapi dalam era digital, relasi itu direduksi menjadi tontonan. 

Kita tak lagi berjumpa untuk memahami, melainkan untuk merekam. Percakapan berganti menjadi konten, empati digantikan komentar, dan pertemuan menjadi sekadar bahan trending.

Dalam metafisika Islam, seluruh wujud terhubung dalam kesatuan tawhid al-wujud kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dan kembali kepada Yang Esa. Ketika kesadaran ini hilang, hubungan manusia menjadi dingin dan artifisial. Kita kehilangan kedalaman relasi karena terperangkap dalam cermin digital yang hanya memantulkan ego.

Krisis Keaslian dan Riya Digital

Ironisnya, semakin terbuka dunia ini, semakin tertutup keaslian manusia. Kita bukan lagi tampil untuk menjadi, tapi untuk tampak seperti. Kesalehan, kebaikan, bahkan kemarahan, kini bersifat performatif. Setiap tindakan diukur dari seberapa banyak ia disukai, bukan seberapa tulus ia dilakukan.

Dalam pandangan tasawuf, keikhlasan (ikhlas) adalah inti dari autentisitas manusia melakukan sesuatu semata karena Allah, bukan karena penonton. Tetapi dunia digital mendorong lahirnya bentuk baru dari riya: kita menampilkan diri bukan karena iman, melainkan demi pengakuan. Akibatnya, spiritualitas pun kehilangan substansinya, ia berubah menjadi pertunjukan, bukan perjumpaan.

Barangkali, pelajaran paling berharga dari peristiwa Yai Mim dan Sahara adalah perlunya manusia modern belajar kembali diam. Dalam kesunyian, manusia menemukan jarak dari sorotan dan opini. Para arif menyebutnya sukun ketenangan batin di mana manusia bisa mendengar kembali gema asalnya, suara Ilahi yang membimbing jiwa.

Kita hidup di era yang bising oleh kata-kata, komentar, dan emosi. Justru karena itu, diam kini menjadi bentuk tertinggi dari kebijaksanaan. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” Dalam diam, manusia menemukan dirinya bukan di hadapan kamera, tapi di hadapan Tuhan.

Kasus Yai Mim dan Sahara sejatinya bukan sekadar soal dua individu, tapi cermin sosial tentang manusia yang kehilangan pusat wujudnya. Kita terlalu sibuk menampilkan diri, hingga lupa untuk mengenali diri. Kita terjebak dalam bayang-bayang eksistensi, bukan dalam makna keberadaan.

Dalam ajaran Islam, hakikat manusia adalah kesadaran akan asal dan tujuan hidupnya inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un. Sementara dalam pandangan Jawa dikenal istilah sangkan paraning dumadi, kesadaran akan asal-usul dan tujuan akhir keberadaan.

Barangkali kalimat itu kini perlu kita renungkan ulang, bukan hanya ketika kematian tiba, tetapi ketika kehidupan kehilangan arah. Sebab di tengah dunia yang terlalu silau oleh cahaya layar, doa itu adalah panggilan untuk pulang: kembali menemukan hakikat diri sebagai manusia yang hadir bukan untuk terlihat, tapi untuk menjadi.

***

*) Oleh : Ahmad Faruk, Alumni Pondok Tremas, Dosen Filsafat Islam FUAD UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Ponorogo just now

Welcome to TIMES Ponorogo

TIMES Ponorogo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.