https://ponorogo.times.co.id/
Opini

Diella, AI dan Masa depan Kelembagaan Negara

Sabtu, 13 September 2025 - 09:15
Diella, AI dan Masa depan Kelembagaan Negara Lukman Santoso Az, Lukman Santoso Az, Bergiat di Pusat Studi Agama dan Negara Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.

TIMES PONOROGO, PONOROGO – Sejarah politik dunia mencatat langkah berani Rapublik Albania, sebuah negara di Eropa Tenggara ketika menunjuk Diella sebagai menteri dalam kabinet negara sekaligus menjadi menteri AI pertama di dunia. Kehadirannya tidak hanya dipandang sebagai alat administratif, tetapi juga sebagai peserta aktif dalam pemerintahan.

Nama Diella, yang berarti Matahari dalam bahasa Albania, bukan sosok asing bagi warganya. Sejak Januari, ia telah hadir sebagai asisten digital di portal e-Albania, membantu masyarakat menyelesaikan berbagai urusan birokrasi melalui perintah suara. Hingga kini, sekitar 95% layanan publik di negara itu dapat diakses secara daring.

Media setempat menyebut kebijakan ini sebagai “transformasi besar dalam cara pemerintah Albania memahami dan menjalankan kekuasaan administratif.” Langkah ini bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi juga simbol reformasi tata kelola: memangkas korupsi, meningkatkan integritas, dan menghadirkan efisiensi birokrasi yang selama ini sulit dicapai manusia.

Kehadiran Diella menandai babak baru dalam perdebatan global mengenai masa depan lembaga negara. Apakah birokrasi masih akan dikelola secara konvensional, ataukah akan bertransformasi menjadi lembaga hybrid yang menggabungkan kecerdasan manusia dengan kecerdasan buatan?

Di Albania, Diella diposisikan untuk merespons problem birokrasi yang sarat korupsi. Dengan kecerdasan buatan, ia mampu mengolah data dalam skala besar, mengidentifikasi penyimpangan, hingga menyusun rekomendasi kebijakan berbasis bukti. Hasilnya, kementerian yang sebelumnya menjadi sarang praktik kotor perlahan lebih transparan dan akuntabel.

Diella membuktikan bahwa AI dapat memangkas biaya birokrasi dengan mengurangi inefisiensi, memperkuat pengawasan, dan mempercepat pengambilan keputusan.

Jika Albania menggunakan AI untuk menyederhanakan lembaga, Indonesia justru menghadapi situasi sebaliknya. Kabinet Prabowo hasil Pemilu 2024 mencatat jumlah kementerian yang lebih banyak dibanding periode sebelumnya.

Di satu sisi, kabinet gemuk dipandang sebagai kompromi politik untuk merangkul banyak kepentingan. Namun di sisi lain, jumlah kementerian yang besar membawa konsekuensi serius: pembengkakan anggaran negara untuk gaji menteri, staf ahli, fasilitas, hingga operasional. Tentu ini kontradiktif di tengah kebutuhan besar untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Selain itu, tumpang tindih kewenangan antarkementerian sering kali menimbulkan inefisiensi. Alih-alih mempercepat kerja negara, struktur yang terlalu luas justru memperlambat respons kebijakan. 

Di sinilah relevansi pelajaran dari Albania. Bayangkan jika Indonesia mengadopsi prinsip serupa: bukan berarti menunjuk “menteri AI”, tetapi membangun kementerian berbasis AI yang mampu memangkas beban birokrasi.

Paling tidak terdapat beberapa keunggulan AI dalam konteks kelembagaan negara: Pertama, menganalisis efektivitas kementerian–menemukan duplikasi fungsi dan merekomendasikan merger. 

Kedua, mengurangi biaya administrasi–mengganti sebagian fungsi manual dengan otomatisasi digital. 

Ketiga, mengawasi belanja negara–mendeteksi anomali dalam penggunaan anggaran. Keempat, memberikan rekomendasi kebijakan–berbasis data real time, bukan hanya intuisi politik.

Jika diterapkan, Indonesia bisa melakukan restrukturisasi kelembagaan: dari kabinet gemuk menjadi kabinet ramping, dengan kementerian yang lebih sedikit tetapi kuat, efisien, dan transparan.

Skenario konkretnya misalnya penggabungan kementerian investasi dan kementerian koperasi & UMKM bisa dilebur ke dalam Kementerian Ekonomi Produktif dengan layanan daring yang sepenuhnya otomatis. Atau kementerian komunikasi dan informatika serta kementerian riset dan teknologi bisa dilebur menjadi Kementerian Inovasi Digital dan Sains. 

Fungsi administratif seperti perizinan, sertifikat tanah, atau layanan pajak bisa diintegrasikan ke dalam satu kementerian berbasis platform AI. Hal ini mengurangi ketergantungan pada petugas manual yang rawan pungutan liar.

Dengan model skenario di atas, jumlah kementerian bisa dipangkas dari 54 menjadi sekitar 20-25 kementerian yang lebih ramping. Hasilnya adalah penghematan anggaran miliaran rupiah tiap tahun, yang bisa dialihkan untuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur.

Sebagaimana dikatakan Max Weber (1864-1920) bahwa birokrasi sebagai pilar rasionalitas modern. Tantangan Indonesia adalah bagaimana memastikan sistem itu tetap berjalan dengan efisien tanpa membebani rakyat melalui anggaran berlebihan. 

Dalam konteks ini, AI bukan hanya alat teknis, tetapi strategi politik kelembagaan. Dengan memanfaatkan teknologi, Indonesia dapat menyeimbangkan dua hal: tetap menjaga legitimasi demokratis dengan kabinet yang merepresentasikan berbagai kepentingan, tetapi sekaligus memastikan negara tidak boros dalam menjalankan birokrasi.

Masa depan kelembagaan Indonesia bisa diarahkan pada model hybrid: kepemimpinan manusia untuk memberi arah etis dan politik, serta sistem AI untuk memastikan efisiensi, transparansi, dan integritas.

Fenomena Diella di Albania memberi inspirasi bahwa birokrasi dapat ditata ulang dengan berani. Indonesia, yang kini memiliki kabinet besar berbasis balas jasa politik dengan beban anggaran tinggi. Indonesia bisa belajar untuk merancang masa depan kelembagaan yang lebih ramping dan efisien.

AI dapat menjadi katalis dalam transformasi: dari sekadar alat administrasi menjadi fondasi tata kelola negara yang lebih modern dan hemat biaya. Dengan demikian, legitimasi negara tidak hanya datang dari mandat politik, tetapi juga dari kemampuannya mengelola sumber daya dengan cerdas dan berintegritas. 

Dengan demikian, korupsi yang selama ini menggerogoti anggaran negara dapat ditekan dengan sistem otomatis yang sulit dinegosiasikan oleh kepentingan politik.

Indonesia tentu belum akan segera memiliki “menteri AI” seperti Diella. Namun gagasan tentang kementerian berbasis AI dapat menjadi pijakan penting menuju masa depan kelembagaan yang lebih efisien, bersih, dan berpihak kepada rakyat.

***

*) Oleh : Lukman Santoso Az, Lukman Santoso Az, Bergiat di Pusat Studi Agama dan Negara Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Ponorogo just now

Welcome to TIMES Ponorogo

TIMES Ponorogo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.