https://ponorogo.times.co.id/
Opini

Naga di Pabrik Dunia

Jumat, 17 Oktober 2025 - 23:41
Naga di Pabrik Dunia Edi Setiawan, Dosen dan Peneliti FEB Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.

TIMES PONOROGO, JAKARTA – Ketika Tiongkok menata industrinya dengan disiplin dan visi jangka panjang, Indonesia justru masih sibuk menambang bahan mentah tanpa arah teknologi. Dari kebangkitan “Made in China 2025”, ada pelajaran berharga tentang pentingnya riset, konsistensi kebijakan, dan kemandirian industri. 

Di tengah ketegangan geopolitik dan ancaman resesi global, Tiongkok melangkah dengan arah yang teguh. Sementara banyak negara masih berdebat soal pemulihan ekonomi, Beijing telah menyiapkan peta jalan 30 tahun industrialisasi baru: Made in China 2025. Diluncurkan satu dekade lalu, program ini menandai perubahan besar dari “pabrik dunia” berbiaya murah menuju kekuatan manufaktur berteknologi tinggi.

Rencana itu sederhana tapi radikal: Tiongkok tak mau lagi hanya merakit barang dari luar negeri. Ia ingin menciptakan, menguasai, dan memimpin teknologi masa depan. Negara yang dulu dikenal sebagai penghasil mainan dan tekstil kini berbicara tentang robotika, kecerdasan buatan, chip semikonduktor, kendaraan listrik, dan bioteknologi. 

Program Made in China 2025 bukan sekadar slogan. Ia adalah strategi nasional yang menyatukan riset, pendidikan, dan industri dalam satu garis kebijakan yang konsisten. Pemerintah memberikan subsidi besar-besaran, melindungi sektor strategis, dan menanam investasi riset yang kini telah menembus 2,4 persen dari PDB empat kali lipat dibanding dua dekade lalu.

Hasilnya mencengangkan. Tiongkok kini memimpin dunia dalam teknologi panel surya dengan menguasai 80 persen rantai pasok global. Di sektor kendaraan listrik, perusahaan seperti BYD dan CATL menantang dominasi Tesla dan Panasonic. DJI, produsen drone asal Shenzhen, kini menguasai hampir 70 persen pasar dunia. 

Dalam laporan World Intellectual Property Organization (WIPO) 2023, Tiongkok mencatat jumlah permohonan paten internasional terbanyak di dunia, mengungguli Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman. Sementara dalam bidang kereta cepat, negeri itu telah membangun jaringan lebih dari 40.000 kilometer terpanjang dan paling canggih di dunia.

Semua itu tak lepas dari keberanian politik untuk melindungi industri strategis. Ketika negara lain berlomba menurunkan tarif impor, Beijing justru menutup pasar bagi produk asing di sektor-sektor kunci sambil membesarkan pemain domestik. Strategi ini sempat dituduh sebagai “subsidi terselubung”, namun hasilnya nyata: transformasi ekonomi terbesar abad ke-21.

Geopolitik dan Rivalitas Baru

Kebangkitan industri Tiongkok mengubah tatanan global. Amerika Serikat, yang selama puluhan tahun menjadi pengendali teknologi dunia, mulai kehilangan pijakan. Ketegangan ekonomi berubah menjadi perang dagang 2018–2020, ketika Washington menuduh Beijing mencuri teknologi dan memaksa transfer pengetahuan dari perusahaan asing.

Di balik rivalitas itu, muncul pertanyaan filosofis: apakah salah bila sebuah negara ingin mandiri secara teknologi? Tiongkok sesungguhnya hanya meniru strategi yang dulu dipakai Jepang dan Korea Selatan yakni proteksi sementara demi penguatan industri nasional. 

Bedanya, skala Tiongkok jauh lebih besar, dengan populasi dan pasar domestik yang memungkinkan inovasi berkembang tanpa harus bergantung pada ekspor.

Kini, dunia menyaksikan pergeseran makna dari “Made in China” menjadi “Created in China”. Tiongkok bukan lagi sekadar tempat produksi global, tetapi sumber inovasi dan paten teknologi yang menentukan arah industri masa depan.

Bagi Indonesia, kisah kebangkitan Tiongkok seharusnya menjadi cermin, bukan ancaman. Kita sedang giat mengusung hilirisasi nikel, tembaga, dan bauksit. Namun pertanyaannya: apakah hilirisasi itu benar-benar membawa kita ke kemandirian industri, atau justru menjadikan kita pemasok bahan baku bagi industri hijau Tiongkok?

Nilai tambah terbesar bukanlah pada bijih yang digali, melainkan pada teknologi yang mengubahnya menjadi produk bernilai tinggi. Ketika kita bangga mengekspor nikel, Tiongkok mengekspor mobil listrik dan baterai litium. Ketika kita bicara smelter, mereka sudah bicara riset material baru dan rekayasa energi bersih.

Indonesia membutuhkan versi sendiri dari Made in Indonesia 2045 sebuah strategi industrialisasi nasional berbasis pengetahuan dan teknologi. Kita tidak bisa hanya berharap pada investasi asing atau kebijakan jangka pendek yang berganti setiap periode politik. Kemandirian ekonomi hanya lahir dari konsistensi, riset, dan keberanian berpihak pada industri nasional.

Dari Tiongkok, ada tiga pelajaran penting yang bisa kita petik. Pertama, disiplin kebijakan. Transformasi industri tidak bisa terjadi bila arah kebijakan berubah setiap lima tahun. Beijing menunjukkan bahwa visi jangka panjang yang dijaga lintas pemerintahan adalah fondasi kemajuan.

Kedua, investasi dalam sains dan pendidikan. Lebih dari 1,5 juta insinyur dan ilmuwan lulus setiap tahun di Tiongkok. Universitas mereka didorong menjadi laboratorium inovasi yang berorientasi pasar. Indonesia? Belanja riset kita masih di bawah 0,3 persen dari PDB, terendah di Asia Tenggara. 

Ketiga, peran aktif negara. Tiongkok tidak menyerahkan industrialisasi kepada mekanisme pasar semata. Negara hadir sebagai arsitek, bukan sekadar penonton. Subsidi, proteksi, dan investasi publik diarahkan dengan presisi ke sektor masa depan bukan dibagi rata sebagai proyek politik.

Kemandirian ekonomi tidak cukup dengan membangun pabrik; ia menuntut ekosistem ilmu pengetahuan dan inovasi. Tanpa riset, industri hanya akan jadi tukang produksi bagi teknologi asing. Tanpa disiplin kebijakan, investasi hanya akan menciptakan ketergantungan baru. 

Indonesia punya modal besar: sumber daya alam, bonus demografi, dan pasar domestik yang kuat. Namun modal itu tak akan berarti bila tidak diolah menjadi daya saing berbasis teknologi. Kita harus berani menetapkan arah: bukan hanya hilirisasi, tapi industrialisasi cerdas yang menghubungkan riset, universitas, dan manufaktur nasional.

“Made in China 2025” adalah pengingat keras bahwa masa depan tidak ditentukan oleh siapa yang punya tambang terbesar, tapi siapa yang menguasai teknologi dan riset terbaik. Tiongkok menunjukkan bahwa dengan disiplin, perencanaan, dan keberanian, negara berkembang pun bisa menantang hegemoni industri dunia. 

Indonesia bisa belajar dari sana bukan untuk meniru, tapi untuk merancang versi kita sendiri. Sebuah model pembangunan ekonomi yang berpijak pada pengetahuan, bukan hanya komoditas. Karena di era teknologi ini, yang tertinggal bukanlah yang miskin, melainkan yang lamban belajar. Dan naga itu, kini benar-benar terbang bukan di langit mitos, tapi di pabrik, laboratorium, dan pasar dunia. 

***

*) Oleh : Edi Setiawan, Dosen dan Peneliti FEB Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Ponorogo just now

Welcome to TIMES Ponorogo

TIMES Ponorogo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.