TIMES PONOROGO, PONOROGO – Hadirnya era Society 5.0 dewasa ini sejatinya mengajak melangkah lebih jauh dengan memosisikan manusia sebagai pusat inovasi. Teknologi canggih tidak lagi menjadi tujuan, melainkan alat untuk menciptakan solusi bagi masalah kemanusiaan.
Kondisi ini menekankan pentingnya pemanfaatan AI, robotics, dan big data untuk menghadirkan masyarakat yang sejahtera, inklusif, dan berkeadilan. Bagi Indonesia, Society 5.0 menghadirkan tantangan ganda, yaitu menjaga jati diri di tengah arus globalisasi digital, sekaligus menguasai teknologi agar tidak sekadar menjadi konsumen.
Dalam konteks momentun hari santri yang diperingati setiap 22 Oktober tentu ini menjadi penting. Spektrum sejarah kebangsaan Indonesia, menempatkan santri sebagai aktor penting dalam transformasi sosial, politik, dan budaya.
Dari perlawanan terhadap kolonialisme hingga peran dalam membangun peradaban bangsa, santri senantiasa menunjukkan daya adaptasi yang tinggi. Dalam situasi ini, mampukah santri tampil sebagai sosok kosmopolit yang tidak hanya berakar pada tradisi, tetapi juga merespons dinamika global yang ditawarkan Society 5.0?
Society 5.0 harus menjadi ruang baru bagi santri masa kini untuk mengambil peran: menjadi penghubung antara nilai tradisi dan tuntutan modernitas. Peringatan hari santri harus menjadi momentum visioner untuk mampu menjadi generasi kosmopolit dalam menghadapi tantangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan.
Santri kosmopolit bukanlah sosok yang meninggalkan kitab kuning lalu terbuai pada kecanggihan gawai. Sebaliknya, ia adalah figur yang mampu menjembatani warisan intelektual klasik dengan kebutuhan kontemporer.
Sejak awal, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional sejatinya telah menanamkan nilai kosmopolitanisme. Kitab kuning yang diajarkan di pesantren berasal dari khazanah ulama Timur Tengah, Asia Selatan, hingga Afrika Utara.
Jaringan keilmuan santri tidak terbatas oleh ruang geografis, melainkan melintasi batas bangsa dan negara. Inilah yang membuat santri terbiasa dengan tradisi berpikir lintas budaya, tanpa kehilangan akar lokalnya.
Kosmopolitanisme santri juga tampak dalam sikap terbuka terhadap perbedaan. Di tengah masyarakat majemuk, santri dituntut mengamalkan prinsip moderasi beragama (wasathiyyah).
Prinsip ini tidak sekadar jargon, melainkan cara pandang yang membuat santri mampu hidup berdampingan dengan siapa pun. Dengan bekal ini, santri sesungguhnya siap menghadapi era globalisasi digital yang menuntut keterbukaan sekaligus kecerdasan memilih nilai.
Misalnya, nilai-nilai etika dalam fiqh siyasah sangat relevan dalam pengembangan ketatanegaraan di era Society 5.0. Prinsip-prinsip seperti al-‘adalah (keadilan), al-maslahah (kemanfaatan publik), dan al-musawah (persamaan) dapat ditransformasikan dalam tata kelola negara modern yang sarat teknologi.
Ketika kebijakan publik dan pengambilan keputusan kian bergantung pada analisis data besar dan kecerdasan buatan, spirit fiqh siyasah menjadi penuntun agar teknologi tidak hanya berpihak pada kepentingan elite, tetapi tetap melayani kemaslahatan rakyat.
Dalam praktiknya, santri kosmopolit bisa berkontribusi dengan mengusulkan kebijakan publik berbasis nilai syariah yang sesuai dengan kebutuhan digital.
Contohnya adalah pengembangan tata kelola zakat dan wakaf digital yang transparan, sistem pelayanan publik berbasis syariah yang akuntabel, serta regulasi penggunaan teknologi yang menjunjung etika. Dengan demikian, warisan pesantren tidak hanya hidup dalam ruang kitab kuning, tetapi juga membumi dalam praktik pemerintahan modern.
Selain itu, santri kosmopolit harus melek literasi digital. Dunia maya kini menjadi ruang dakwah, diskusi, bahkan pertempuran ideologi. Tanpa penguasaan teknologi informasi, santri bisa tertinggal dan hanya menjadi penonton.
Karenanya, kemampuan coding, analisis data, hingga pemahaman media sosial perlu dipandang sebagai keterampilan santri modern yang sama pentingnya dengan menghafal matan kitab klasik.
Jalan menuju santri kosmopolit di era Society 5.0 tentu tidak mudah. Pertama, masih ada kesenjangan akses teknologi antara pesantren besar di perkotaan dengan pesantren kecil di daerah pedesaan.
Kedua, stigma bahwa santri hanya piawai dalam urusan agama tetapi gagap teknologi masih melekat di masyarakat.
Ketiga, arus informasi yang begitu deras berpotensi menggoyahkan identitas santri jika tidak dibekali dengan critical thinking yang kuat.
Di sinilah peran negara, masyarakat, dan pesantren untuk berkolaborasi. Negara perlu memberi dukungan infrastruktur digital di pesantren. Masyarakat perlu menghapus stereotip lama yang memandang santri hanya pandai mengaji. Sementara pesantren perlu melakukan modernisasi kurikulum tanpa meninggalkan tradisi.
Lebih dari itu, santri kosmopolit bisa berperan sebagai “penyaring nilai”. Tidak semua hal yang ditawarkan Society 5.0 cocok dengan etika Islam. Misalnya, isu privasi data, penggunaan robot dalam pelayanan ibadah, atau algoritma media sosial yang memicu polarisasi.
Dalam hal ini, santri mampu menawarkan perspektif etis yang bersumber dari khazanah Islam klasik dan pengalaman hidup di tengah masyarakat.
Era Society 5.0 membuka babak baru kehidupan manusia yang menuntut integrasi antara teknologi dan nilai kemanusiaan. Santri, dengan warisan kosmopolitanisme Islam dan daya adaptasi tinggi, memiliki modal besar untuk tampil sebagai pionir.
Dengan catatan, santri tidak boleh berpuas diri dengan status quo, melainkan terus meningkatkan literasi digital, memperluas jaringan global, dan mengaktualisasikan nilai Islam dalam dunia yang serba digital. Menjadi santri yang tidak hanya ’mengaji’, tetapi juga mampu menyalakan obor peradaban di tengah gelapnya tantangan modernitas.
***
*) Oleh : Lukman Santoso Az, Bergiat di ISNU Ponorogo dan Dosen Fakultas Syariah UIN Ponorogo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |